Amankan RI dari Jeratan Utang, Ini Strategi Anies-Ganjar-Pranowo?

Jakarta, CNBC Indonesia – Utang negara kerap menjadi komoditas politik, terutama menjelang pemilihan presiden (pilpres). Utang negara bahkan menjadi salah pembahasan panas dalam debat calon presiden (capres) 2024. 

Dalam debat ketiga pada Minggu (7/1/2024), capres Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo mengkritisi besaran dan pengelolaan utang negara. Sebaliknya, capres Prabowo Subianto menegaskan jika rasio utang negara masih aman.

Persoalan pengelolaan utang di mata capres akan dibahas oleh tim sukses (timses) masing-masing capres dalam program Your Money Your Vote di CNBC Indonesia dengan tema “Adu Strategi Kelola Utang Penerus Jokowi hari ini, Rabu (10/1/2023), pada pukul 19:30 WIB.

CNBC Indonesia TV dapat juga disaksikan melalui siaran TV digital channel 40 untuk wilayah Jabodetabek Banten, dan Transvision channel 805.

Foto: CNBCYour Money Your Vote

Dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), utang negara dibutuhkan untuk membiayai defisit anggaran. Utang dibutuhkan karena pendapatan negara, baik pajak ataupun non-pajak, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja sehingga terjadi defisit.

Semakin ekspansif belanja negara semakin besar pula kebutuhan sumber pembiayaan. Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspansif ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.

Utang yang membiayai APBN diambil dari berbagai sumber, mulai dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pinjaman proyek, dan pinjaman program. Krediturnya juga beragam mulai dari negara, lembaga multilateral, bank, bank sentral, perusahaan, hingga individu.

Beberapa pihak berpandangan, bahwa jumlah utang pemerintah saat ini sudah mengkhawatirkan dan meragukan kemampuan pemerintah untuk membayarnya. Bila dlihat dari jumlah nominal, utang pemerintah memang melonjak tajam dari Rp 2.442 triliun per Desember 2014 menjadi Rp8.041,01 triliun per akhir November 2023.

Situasi ini semakin diperkeruh karena beberapa pihak mencoba untuk membandingkan utang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan posisi Menteri Keuangan yang dijabat oleh orang yang sama, Sri Mulyani.

Rezim SBY yang memerintah pada 2004-2014 mampu menekan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sekitar 25% di akhir serah terima jabatan presiden pada 2014, dari awal memimpin 57%. Sebaliknya, Jokowi membawa rasio utang publik melonjak ke angka yang lebih tinggi.

Secara nominal pun, kondisi utang Indonesia saat ini naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan pada saat Presiden Jokowi menjabat di tahun 2014. Maka dari itu, sebagian pihak menilai pemerintahan Presiden Jokowi tercatat dalam sejarah sebagai rezim paling doyan utang dengan capaian nominal utang publik atau pemerintah pusat jumbo.

Namun, perlu diketahui, dalam melakukan dan mengelola utang/pinjaman, pemerintah mempunyai aturan main yaitu undang-undang (UU), best practices, dan prinsip kehatian-hatian (prudent).

Kondisi Utang Indonesia Saat Ini

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan posisi utang Indonesia hingga akhir November 2023 sebesar Rp8.041,01 triliun. Naik tipis dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar Rp7.950,52 triliun.

“Jumlah utang pemerintah pada periode ini mencapai Rp8.041,01 triliun dengan rasio utang terhadap PDB 38,11%,” tulis Kemenkeu dalam buku APBN Kita.

Posisi rasio utang terhadap PDB saat ini tergolong lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 2021 yang mencapai lebih dari 40%.

Salah satu alasan mengapa utang pemerintah Indonesia pada saat itu mencapai 40% yakni akibat balada pandemi Covid-19 pada 2020-2021. Pandemi membuat pemerintah mau tak mau harus berutang dalam jumlah besar guna memitigasi dampak pandemi serta anjloknya penerimaan negara karena berkurangnya aktivitas ekonomi.

Kondisi ini adalah pilihan pil pahit yang dilakukan oleh Indonesia dan semua negara.

Rasio utang saat itu memang naik dari 30% pada akhir 2019 menjadi 41% pada 2021. Dalam nominal selama dua tahun pandemi, pemerintah menambah utang sebanyak Rp2.145 triliun.

Kendati jumlahnya melonjak tetapi rasio utang masih jauh dari ketetapan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yakni maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Selain itu, rasio ini juga masih di bawah target yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah periode 2023-2026 di kisaran 40%.

Jika dilihat lebih rinci, utang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.124,9 triliun meliputi domestik Rp5.725,25 triliun sebagai porsi terbesar dan sisanya adalah valuta asing (valas) Rp1.372,7 triliun. Selain SBN, ada pinjaman Rp916,03 triliun dengan porsi terbesar dari luar negeri Rp886 triliun.

Rasio utang Indonesia tetap dijaga untuk tidak melebihi batas yang telah ditetapkan agar kondisi ekonomi Indonesia tetap stabil dan terhindar dari kolaps serta multiplier effect lainnya.

Sejumlah negara sudah menjadi bukti jika pengelolaan utang yang tidak prudent bisa memporakporandakan negara.

Sebagai contoh, yakni Argentina yang dilanda utang ratusan kuadriliun rupiah. Utang yang begitu besar tersebut membuat pekerja serabutan yang kini jatuh ke lubang kemiskinan ekstrem, diantaranya menjadi pemulung sampah untuk sekedar bisa makan, atau antri di pasar barter untuk menukarkan barang-barang yang tersisa untuk hidup.

Argentina sudah dua kali dinyatakan gagal bayar utang (default) yakni pada 2001 dan 2014. Pada tahun 2001, Argentina gagal bayar utang sebesar US$100 miliar.

Kemudian pada 2014 para kreditur menolak penawaran negosiasi pembayaran utang pemerintah Argentina. Pihak lembaga pemeringkat utang, Standard & Poor’s (S&P) saat itu langsung memposisikan Argentina dalam status ‘Selective default’.

Utang yang tak sanggup dibayar oleh Argentina ini berdampak pula pada minat asing yang sirna untuk masuk ke pasar keuangan Argentina. Alhasil, depresiasi mata uang peso Argentina pun terjadi secara signifikan.

Rasio Utang Indonesia Jauh di Bawah Negara Lain

Dilansir dari APBN KITA, setidaknya sejak 2014 hingga akhir 2023, rasio utang Indonesia terhadap PDB secara konsisten masih dalam ambang batas aman.

Sementara negara lainnya seperti Jepang memiliki rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi dari Indonesia bahkan lebih dari 200%.

Data International Monetary Fund (IMF) menunjukkan Jepang memang masih menjadi negara dengan rasio utang terhadap PDB terbesar di dunia.

Meskipun rasio utang pemerintah Jepang besar tetapi investor dalam negeri menguasai kepemilikan utang Negara Sakura sehingga relatif aman dari guncangan eksternal. Pemegang terbesar adalah bank sentral Jepang (BoJ) yang menguasai 53,34% utang pemerintah. Warga Jepang juga menjadi salah satu pemegang besar dalam surat utang pemerintah.

Sedangkan untuk negara Paman Sam, rasio utang terhadap PDB juga jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia meskipun masih di bawah Jepang.

Amerika Serikat (AS) memiliki utang mencapai US$33 triliun (lebih dari Rp500.000 triliun). Jumlah utang Negeri Paman Sam telah meningkat pesat lebih dari 89% sejak awal pandemi.

Saat ini, rasio utang AS telah lebih dari 100%. Artinya batas utang tersebut sudah dicapai, dan Kementerian Keuangan AS tidak bisa lagi menerbitkan obligasi untuk membiayai belanja.

Asing Mendominasi Kepemilikan SBN Dibandingkan Individual

Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah Indonesia dimiliki oleh beberapa pihak, seperti investor asing, individual, bank sentral, hingga bank umum (konvensional dan syariah).

Sejak 2016 hingga 2023, tercatat bahwa kepemilikan asing di SBN domestik terus mengalami penurunan khususnya dalam hal persentase.

Pada 2016, asing memiliki SBN domestik sebesar 37,55% atau sekitar Rp665,8 triliun. Sementara pada 2023 tercatat turun menjadi 14,93% atau sekitar Rp842 triliun. Sedangkan porsi individual mengalami kenaikan secara persentase yakni dari 3,26% menjadi 7,72% pada periode yang sama atau sekitar Rp435,28 triliun.

Berkurangnya kepemilikan asing dan meningkatnya porsi individu membuat Indonesia lebih aman dari guncangan eksternal jika ada ketidakpastian global. Pasalnya, pergerakan hot money relatif bisa ditekan.

Berapa Utang yang Harus Dibayar Setiap Tahunnya?

Merujuk pada data Kementerian Keuangan menunjukkan dalam enam tahun terakhir (2017-2022) pemerintah menghabiskan 31% anggaran untuk membayar utang. Angka tersebut lebih besar dibandingkan yang disebut Cak Imin.

Rata-rata utang yang harus dibayar adalah Rp782 triliun per tahun. Termasuk di dalamnya adalah untuk pembayaran cicilan pokok utang dan bunga, baik utang luar ataupun dalam negeri.

Pembayaran utang melonjak dari Rp 566, 8 triliun pada 2017 atau sekitar 28,24% dari APBN menjadi Rp906, 3 triliun atau 29,3% pada 2022.Pada 2021, penggunaan APBN untuk membayar cicilan utang dan bunga utang bahkan menembus 32,4% dari APBN.

Jika dilihat secara rata-rata dalam rentang 2017 hingga 2022 tercatat sekitar 31,33% APBN digunakan hanya untuk membayar utang dan bunganya. Sementara jika ditelisik lebih dalam, dari total pokok utang dan bunga, porsi bunga utang yang dibayarkan setiap tahunnya umumnya lebih tinggi dibandingkan pokok utang yakni sekitar 60-70%an.

Siapa Kreditor Utang ke Indonesia?

Kreditor utang dengan porsi terbesar yakni Singapura dan posisi kedua ditempati oleh Amerika Serikat (AS).

Posisi ULN pemerintah pada Oktober 2023 tercatat sebesar US$185,12 miliar (Rp2.865 triliun), turun dibandingkan dengan posisi September sebesar US$188,28 miliar, atau secara tahunan (year on year/yoy) tumbuh sebesar 3%.

Posisi ULN Indonesia mayoritas peminjamnya yakni swasta sebesar US$196,94 miliar atau sebesar 50,21%. Sedangkan sisanya yakni 49,78% atau US$195,23 miliar merupakan peminjam dari pihak pemerintah dan bank sentral yang terdiri dari lembaga keuangan maupun bukan lembaga keuangan.

Jika melihat porsi kreditor ULN Indonesia hingga Oktober 2023, didominasi oleh Singapura yakni sebesar 14,28% dengan jumlah US$56,02 miliar. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode September 2023 yakni sebesar US$55,97 miliar dan periode Agustus 2023 yang sebesar US$55,56 miliar.

Hal ini berbeda dengan kreditor AS yang justru terus mengalami penurunan secara konsisten sejak Juli 2023 dari US$29,58 miliar menjadi US$29,34 miliar pada Oktober 2023.

Bagaimana Visi Misi Calon Presiden (Capres) 2024-2029 dalam Mengatasi Utang?

Anies selaku capres nomor urut 1 dalam visi misinya menjelaskan akan mengelola utang negara secara bertanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan menjaga rasio utang terhadap PDB kurang dari 30,0% pada 2029.

Ia juga menegaskan akan menerbitkan SBN yang terencana, kompetitif, dan transparan guna memperoleh suku bunga terendah.

Sementara Prabowo dalam visi misinya mengatakan akan memperbaiki tata kelola utang pemerintah dengan menggunakannya hanya untuk sektor-sektor produktif. Hal ini menunjukkan bahwa Prabowo beserta tim tidak akan mengalokasikan utang untuk hal yang tidak memberikan kontribusi bagi negara.

Ganjar sebagai capres nomor urut 3 dalam visi misinya tidak ada secara spesifik membahas soal utang, namun pada debat capres kedua yang diselenggarakan Minggu (7/1/2024), Ganjar mengingatkan pemerintah jika ingin berutang untuk pembangunan infrastruktur yang berisiko tinggi haruslah berhati-hati. Pasalnya, utang jenis ini dilakukan banyak negara dan buat banyak negara kolaps.

Ganjar pun menginginkan untuk memaksimalkan utang dengan membeli barang baru serta ekosistem industrinya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)[Gambas:Video CNBC] 

Updated: Januari 10, 2024 — 8:10 am

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *