Jakarta, CNBC Indonesia – Penduduk Indonesia diwarnai oleh fenomena makan tabungan. Fenomena ini diperkirakan masih akan terjadi sepanjang 2024. Fenomena makan tabungan masyarakat Indonesia setidaknya sudah terbaca sejak pertengahan 2023.
Fenomena tersebut terungkap salah satunya melalui survei konsumen yang dirilis Bank Indonesia. Dalam survei tersebut, terlihat bahwa tingkat konsumsi masyarakat RI mulai meningkat, namun diiringi dengan berkurangnya porsi tabungan.
Survei Bank Indonesia (BI) November 2023 memperlihatkan porsi pendapatan konsumen yang disimpan atau saving to income ratio masyarakat Indonesia kembali merosot dari 15,7% pada Oktober menjadi 15,4% pada November. Sebaliknya, proporsi pendapatan konsumen untuk membayar cicilan atau hutang alias debt to income ratio justru naik dari 8,8% di Oktober, menjadi 9,3% di November.
“Jadi kira-kira setahun ke depan (masyarakat harus) menjaga agar tabungannya cukup untuk dimakan,” kata Ekonom Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati dalam program Power Lunch di CNBC Indonesia, Rabu (20/12/2023).
Nina mengatakan fenomena makan tabungan ini paling banyak terjadi pada masyarakat dengan golongan menengah ke bawah. Dia bilang kelompok ini adalah yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19. Banyak dari mereka dipecat selama pandemi. Saat ini, mereka sudah kembali mendapatkan pekerjaan, namun pekerjaan baru itu memiliki gaji yang lebih sedikit.
“Ada kesulitan mencari lapangan pekerjaan sehingga harus makan tabungan,” katanya.
Di lain sisi, roda ekonomi pasca-pandemi sudah berputar yang berimbas pada meningkatnya pengeluaran masyarakat. Ketika pengeluaran tidak sebanding dengan pendapatan, tiada opsi lain selain makan tabungan.
“Kalau pengeluaran naik, tapi pendapatan tetap atau turun, karena dia keluar di-PHK lalu masuk lagi tapi belum dapat pekerjaan yang baik, maka kita lihat akan makan tabungan untuk kelas menengah bawah,” ujar Nina.
Pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mengungkapkan rencana keduanya untuk memangkas pajak tabungan dan penghasilan (PPh).
Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) Thomas Lembong mengatakan pengenaan pajak atas dua komponen ekonomi masyarakat itu tak masuk prinsip pengenaan pajak yang sebetulnya sebagai disinsentif.
“Prinsip dasar dari perpajakan adalah hal-hal yang mau kita tumbuhkan jangan kita pajaki karena pajak semacam disinsentif,” kata Lembong dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, dikutip Kamis (28/12/2023).
Adapun, visi misi AMIN terkait rasio pajak yang hanya ditargetkan sebesar 13%-15% dari yang saat ini di kisaran 10%. Lembong mengungkapkan rasio tersebut tak terlalu ambisius seperti pasangan calon nomor urut 2 dan 3 yang kata dia mencapai 20% target tax ratio nya.
Menurutnya, target tax ratio dan skema perpajakan AMIN itu didasari atas proyeksi kondisi ekonomi global mendatang yang akan semakin sulit karena masih besarnya ancaman resesi global atau paling tidak berupa perlambatan ekonomi global.
“Jadi kami tidak mau naikkan pajak drastis saat perlambatan ekonomi karena rakyat sekarang saja sudah susah dengan harga pangan naik 20%-30%, tingginya biaya hidup, kalau ditimpa kenaikan pajak drasatis lagi hemat kami bisa kontraktif perekonomian,” tegas Lembong.
Anies dan Muhaimin juga mengungkapkan komitmennya untuk memajaki 100 orang terkaya di Indonesia lebih besar sambil menurunkan pajak rakyat kelas menengah.
Lembong menjelaskan, skema pengenaan pajak yang akan dikenakan kepada 100 orang terkaya di Indonesia itu tidak dalam bentuk pengenaan berbagai pajak tambahan baru. Melainkan sebatas penggunaan skema pajak kekayaan atau wealth tax.
“Ini lebih menuju yang istilahnya wealth tax. Kita harus pajaki hartanya, bukan penghasilannya, karena ini lebih ke isu ketimpangan harta ketimbang penghasilan,” ujar Lembong.
Skema kebijakan pajak terhadap mereka yang kedua adalah pengenaan pajak terhadap perusahaan para konglomerat yang terlibat duopoli atau oligopoli. Artinya, pajak khusus terhadap bisnis yang hanya dijalankan oleh dua atau beberapa perusahaan saja.
“Kebanyakan duopoli, oligopoli yang nikmati duopoli atau oligopoli profit. Contoh di sektor minimart hanya ada dua, Indomaret dan Alfamart, kekurang persaingannya jadi itu merujuk kepada dua perusahaan ini sangat-sangat profit yang dirugikan konsumen karena kurangnya persaingan,” ucap Lembong.
Oleh sebab itu, mekanisme pemajakanannya kata dia akan terkonsentrasi pada industrinya. Apalagi iklim usaha yang hanya didominasi oleh segelintir pengusaha seperti duopoli atau oligopoli itu kata dia lebih berisiko sistemik terhadap perekonomian.
Artikel Selanjutnya
Kisah Warga RI ‘Mantab’, Sebulan Tarik Rp500.000 Buat Hidup
(haa/haa)