loading…
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 bertema Perpres Publisher Right, Untuk Siapa? di Jakarta, Jumat (1/3/2024). FOTO/TANGKAPAN LAYAR
“Lahirnya Perpres ini, yang Nomor 32 Tahun 2024 ini, ini akan membuat kita memberikan reward kepada publik bahwa akan tersebar nanti konten-konten yang bisa kita pertanggungjawabkan dan setidaknya ini adalah membuat cita-cita dari Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 99 itu betul-betul terpenuhi, konten yang akuntabel, konten yang sesuai dengan kode etik, bisa dinikmati oleh publik karena itu adalah kebutuhan publik dan ini baik sekali,” kata Yadi Hendriana dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 bertema ‘Perpres Publisher Rights, Untuk Siapa?’ di Jakarta, Jumat (1/3/2024).
Yadi menjelaskan, Perpres yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Februari 2024 itu akan mengatur tanggung jawab platform dalam melakukan distribusi konten.
“Jadi Perpres ini mengatur tanggung jawab platform dalam melakukan distribusi konten. Nah itu ada platform distribusi konten. Jadi proses jurnalisme itu kan ada bisnis modelnya kan ada tiga gitu. Kan ada proses gathering peliputan kemudian kedua itu proses production atau editing yang ketiga itu prosesnya publishing, publishing penyiaran dan lain-lain gitu kan,” ujarnya.
Namun di dalam proses jurnalisme ada satu yang tidak terikat dengan kode etik yaitu distribusi konten. Dengan Perpres Publisher Rights ini akan menghasilnya jurnalisme yang berkualitas.
“Makanya distribusi konten yang dilakukan oleh platform digital itu menjadi konsen kita gitu kan. Kenapa demikian? Karena sebelum Perpres ini kemudian jadi dan awal-awal kan bergulir bahwa di platform digital kita itu bertebaran konten-konten yang porno, konten-konten yang tidak bertanggung jawab, yang hoaks, yang dan lain-lain, macam-macam, dan itu luar biasa dan ini in line dengan, in line dengan pengaduan Dewan Pers selama 5 tahun terakhir,” kata Yadi.
Ia mengungkapkan, dalam lima tahun terakhir Dewan Pers telah menerima sebanyak 3.600 aduan dari masyarakat terkait konten jurnalisme yang tidak bertanggung jawab. Paling banyak tahun 2023 sebanyak 831 kasus.
“Dari 3.600 pengaduan itu 60% itu apa namanya dilakukan oleh media tidak profesional 60% ya, media profesionalnya itu 40% jadi besar sekali ini. Jadi makanya dari sini muncullah wadah dari jurnalisme berkualitas itu, fakta yang seperti itu gitu kan,” ujar Yadi.
Yadi kembali menegaskan produk pers harus sesuai dengan kode etik jurnalistik, harus bertanggung jawab, dan kontennya bermanfaat bagi publik.
“Nah ketika dia amplifikasi konten-konten yang tidak bertanggung jawab dan tidak bermanfaat bagi publik bahkan hoax dan bohong itu bukan produk jurnalistik. Dan faktanya memang dominasi yang dilaporkan kepada publik yang mengaku pers itu banyak sekali,” katanya.
(abd)