Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia memberikan sinyal akan meninggalkan penggunaan dolar Amerika Serikat (AS). Ini terlihat pada instrumen operasi moneter untuk menjaga stabilitas rupiah.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyebut salah satunya adalah membentuk ekosistem transaksi tanpa dolar seperti local currency transaction (LCT) dengan beberapa negara mitra, hingga membuat instrumen pasar uang baru.
“Memang sekarang upaya kita untuk menjaga stabilitas rupiah ini benar-benar luar biasa,” kata Destry saat konferensi pers di kantornya, dikutip Minggu (26/11/2023).
Destry mengungkapkan, untuk pemanfaatan LCT atau yang juga dikenal sebagai local currency settlement (LCS) per Oktober 2023 transaksinya telah setara dengan US$ 5,4 miliar, atau naik 55% dari catatan September sebesar US$ 4,9 miliar.
Sementara itu, dari jumlah pelaku usaha yang memanfaatkan instrumen transaksi tanpa dolar itu telah mencapai 2.414, naik dari September 2023 sebanyak 2.287, dan dibanding akhir tahun lalu pun naik signifikan karena saat itu hanya sebanyak 1.700 pelaku usaha.
“Ini artinya secara bertahap kita mendiversifikasi dari valas yang ada di domestik,” ucap Destry.
Jika LCT adalah instrumen untuk mengurangi penggunaan dolar AS, ada lagi instrumen untuk menyerap dolar sebagai salah satu alat untuk menjaga pasokan dolar sehingga menjaga stabilitas rupiah. Ini adalah term deposit valas devisa hasil ekspor atau TD DHE.
Destry mengatakan, nilai outstanding TD DHE kini telah mencapai US$ 2,2 miliar, naik dari posisi Oktober 2023 sebesar US$ 1,8 miliar. Sementara itu, tingkat kepatuhan para eksportir yang membenamkan dolarnya pada instrumen itu untuk tenor tiga bulan telah mencapai 96% naik dari bulan sebelumnya 84%.
“Artinya nasabah itu korporasi sudah mengantisipasi bahwa ini bagian dari menjalankan PP 36/2023 ini. Kemudian jumlah perusahaan meningkat sekarang di November sudah 151 perusahaan, ini data per 21 November 2023,” tutur Destry.
Selain TD DHE, instrumen untuk menyerap likuiditas dolar untuk memperdalam pasar keuangan dan menyerap dolar AS ialah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Destry mengatakan, SRBI per 22 November 2023 outstanding telah mencapai Rp 178,8 triliun.
Dari total nilai outstanding transaksi itu, ia mengatakan, hampir 30% sudah diperdagangkan di pasar sekunder atau setara dengan Rp 50 triliun. Dengan capaian itu, ia menganggap instrumen operasi moneter yang pro market ini telah mampu menggerakkan pasar keuangan.
“Hal yang menarik sesuai dengan arah kami menerbitkan SRBI, telah mampu menarik inflow masuk dan sekarang kita melihat asing sudah Rp 27 triliun atau 15,2%,” pungkas Destry.
Artikel Selanjutnya
Jaga Rupiah dari Negara Besar, BI: Kita Harus Campur Tangan!
(Tommy Sorongan/hsy)