Pasar keuangan Tanah Air sepanjang pekan lalu masih bergerak dalam zona merah, IHSG meninggalkan tren penguatan 10 minggu beruntun, rupiah melemah, sementara obligasi dilepas investor.
Bursa Wall Street bergerak variatif berkat laporan keuangan sepanjang 2023 sudah mulai rilis meredakan sentimen memanas-nya inflasi AS.
Neraca dagang RI, pertemuan BI, PDB China, hingga memanas-nya hawa politik jelang debat ke-empat bakal mempengaruhi gerak pasar RI.
Jakarta, CNBC Indonesia – Sepanjang pekan lalu pasar keuangan Tanah Air terpantau bergerak dalam zona merah di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi, nilai tukar rupiah dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS) melemah, hingga obligasi acuan RI bertenor 10 tahun masih dilepas investor.
Mulai dari pasar saham, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada akhir pekan, Jumat (12/1/2024) IHSG berakhir di posisi 7241,14. Nilai tersebut terapresiasi 0,29% secara harian, akan tetapi belum mampu mendongkrak gerak secara mingguan yang menyusut hingga 1,49%.
Pelemahan secara mingguan tersebut akhirnya memutus tren penguatan IHSG selama 10 minggu beruntun.
Secara sektoral dalam basis mingguan, koreksi IHSG paling banyak ditekan oleh sektor basic industry yang anjlok hingga 5,76%, kemudian disusul sektor infrastruktur dan consumer non cyclical, masing-masing susut 2,23% dan 1,98%.
Berikutnya, yang menekan IHSG ada sektor transportasi dan teknologi, dengan pelemahan masing-masing 1,73% dan 1,02%. Terakhir ada sektor energi yang menyusut tipis 0,15%.
Jika menelisik lebih dalam, yang paling banyak mengerek IHSG turun adalah dari kinerja saham konglomerat Prajogo Pangestu yang terpantau kompak rontok. Secara mingguan, saham PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) sudah ambles 37,82%, kemudian diikuti saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) anjlok nyaris 35%, dan saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) menyusut 21,11%. Ketiga saham tersebut menjadi faktor terbesar penyusutan IHSG karena secara indeks poin menyumbang lebih dari 100 poin.
Sebagai catatan juga, dari tiga saham tersebut BREN terbilang yang punya kapitalisasi pasar yang paling besar. Dengan harga saham anjlok sepanjang pekan lalu kemudian membuat posisi BREN lengser dari tiga besar market cap di Bursa. Kini, posisi-nya berada di urutan ke-empat dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp628,80 triliun.
Posisi pertama tetap dipegang PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar Rp1195,77 triliun, diikuti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp886,62 triliun dan PT Bayan Resources Tbk (BYAN) sebesar Rp656,67 triliun.
Sebagai informasi, sepanjang pekan lalu (8-12 Januari 2024) ada enam saham yang berhasil melantai di bursa. Berdasarkan data BEI, ada satu saham yakni PT Manggung Polahraya Tbk (MANG) yang harga-nya ambles hingga 19% dari harga IPO. Sementara itu, untuk lima saham lainnya harga-nya berhasil bergerak atraktif.
Beralih ke nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS pada sepanjang pekan lalu pergerakannya juga masih terpantau melemah. Melansir data Refinitiv, mata uang Garuda pada perdagangan terakhir pekan lalu berakhir di angka Rp15.545/US$ atau terdepresiasi 0,23% secara mingguan.
Depresiasi pekan lalu kembali melanjutkan tren pelemahan yang terjadi pada minggu sebelumnya sebesar 0,75%. Hal ini terjadi disinyalir karena tekanan indeks dolar AS (DXY) yang meningkat, hingga penutupan pekan lalu DXY terpantau berada di posisi 102,40. Nilai tersebut meningkat dibandingkan satu hari sebelumnya sebesar 102.29.
Tekanan terhadap DXY terutama dipengaruhi hasil inflasi AS yang tumbuh lebih panas dari perkiraan. Berdasarkan data dari Biro Statistik AS, inflasi di negeri Paman Sam pada Desember 2023 naik menjadi 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 3,1% pada November 2023 dan dari ekspektasi pasar yang proyeksi tumbuh 3,2% yoy.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI AS pada Desember 2023 juga naik menjadi 0,3%, dari sebelumnya sebesar 0,1% pada November 2023 dan lebih panas dari perkiraan sebesar 0,2% mtm.
Namun, untuk inflasi inti AS periode Desember 2023, yang tidak termasuk harga pangan dan energi yang fluktuatif juga cenderung turun sedikit menjadi 3,9% (yoy), dari sebelumnya pada November 2023 sebesar 4%. Angka CPI inti juga lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 3,8%.
Di sisi lain, pasar tenaga kerja AS juga masih ketat, terlihat dari data pekerjaan di luar pertanian atau Non Farm Payroll (NFP) tercatat naik ke 216.000 pada Desember 2023. Nilai tersebut dil uar perkiraan yang proyeksi turun ke 170.000, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 173.000 pekerjaan.
Tingkat pengangguran juga masih terbilang rendah, hingga akhir 2023 berada di angka 3,7%. Kemudian yang terbaru, data klaim pengangguran pada pekan lalu yang berakhir 6 Januari 2024 tercatat turun 1000 klaim menjadi 202.000, menempati posisi terendah selama lima pekan beruntun.
Gabungan antara inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja AS yang memanas potensi membuat ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) dipangkas tahun ini lebih lambat dari perkiraan.
Hal tersebut juga berdampak pada pasar obligasi Tanah Air, terpantau hingga akhir pekan lalu, Jumat (12/1/2024) surat utang acuan dengan tenor 10 tahun yang masih dilepas investor. Hal tersebut tercermin dari nilai imbal hasil yang menguat 13,5 basis poin (bps) selama seminggu menjadi 6,66%.
Perlu dicatat, pergerakan harga dan yield obligasi adalah berlawanan arah, sehingga kenaikan yield yang terjadi pekan lalu menunjukkan harga obligasi turun akibat dilepas investor.
Pasar obligasi yang belum atraktif juga disinyalir karena relatif sedikitnya investor yang masuk mengindikasikan kehati-hatian mereka terhadap ekonomi global dan Indonesia.
Pasalnya, kuartal pertama tahun ini masih dibayangi politik yang semakin memanas akibat pemilu serentak sudah tinggal sebentar lagi di Tanah Air. Selain itu, memanas-nya inflasi dan pasar tenaga kerja AS, dari global juga masih ada ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah, serta masih lesunya ekonomi Tiongkok.
Sebelumnya, pada hasil lelang surat utang negara (SUN) pertama kali di tahun ini pemerintah juga menunjukkan keputusan yang konservatif, dimana pemerintah hanya menyerap Rp21,75 triliun dari target indikatif sebesar Rp25 triliun. Padahal penawaran yang masuk lebih banyak sebesar Rp39,8 triliun.